Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan peringatan keras kepada masyarakat Indonesia untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap potensi penyalahgunaan teknologi akal imitasi atau Artificial Intelligence (AI) dalam berbagai modus penipuan. Ancaman ini terutama menyasar transaksi jual beli online, panggilan palsu, dan juga skema investasi bodong yang merugikan.
Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi, menjelaskan bahwa kemajuan teknologi Artificial Intelligence memiliki potensi penyalahgunaan yang sangat besar. “Terutama untuk membuat tiruan suara atau voice cloning, kemudian membuat tiruan wajah atau deep fake, dengan tujuan tentunya untuk menipu dengan cara supaya terlihat meyakinkan,” ungkap Friderica dalam konferensi pers Asesmen Sektor Jasa Keuangan dan Kebijakan OJK, Hasil Rapat Dewan Komisioner Bulanan (RDKB) Juli 2025, pada Senin, 4 Agustus 2025.
OJK telah menerima sejumlah besar aduan dari konsumen terkait penyalahgunaan AI, yang mencakup kasus pencurian wajah hingga pemalsuan identitas digital. Friderica menyebut, “OJK menerima aduan dari konsumen terkait penyalahgunaan AI ini, yaitu karena fotonya digunakan, menggunakan AI, untuk hal-hal yang tidak bertanggung jawab.” Hal ini menunjukkan betapa seriusnya dampak teknologi ini jika jatuh ke tangan yang salah.
Data menunjukkan bahwa modus penipuan transaksi belanja online mendominasi laporan sejak awal tahun hingga 9 Juli 2025, dengan total 39.108 pengaduan. Angka ini diikuti oleh penipuan melalui panggilan palsu sebanyak 20.628 laporan, serta penipuan investasi yang mencapai 14.533 laporan. Statistik ini menjadi bukti nyata urgensi untuk meningkatkan literasi dan kewaspadaan digital masyarakat.
Friderica menambahkan bahwa para pelaku kejahatan siber kini semakin canggih. Mereka bisa merekam dan meniru suara seseorang, bahkan suara teman atau anggota keluarga, dengan bantuan AI. “Dengan menggunakan suara yang sudah dipelajari tersebut, para skamer ini bisa melakukan percakapan seolah mereka adalah orang-orang yang dikenal korban,” terangnya, menjelaskan bagaimana trik ini mampu menjebak banyak korban.
Selain suara, teknologi AI juga memungkinkan pelaku untuk menciptakan video palsu yang meniru wajah dan ekspresi seseorang dengan sangat akurat. “Teknologi AI ini juga memungkinkan para pelaku membuat video-video palsu yang meniru wajah dan ekspresi seseorang dengan sangat akurat,” ujar Friderica. Video-video palsu ini kemudian digunakan untuk membuat korban percaya bahwa mereka sedang berkomunikasi dengan individu yang sebenarnya tidak terlibat, sehingga memperparah tingkat penipuan.
Untuk mencegah meluasnya penipuan berbasis AI ini, OJK mengimbau masyarakat agar selalu berhati-hati dan melakukan verifikasi setiap permintaan yang mencurigakan, terutama yang berkaitan dengan uang. “Tolong teman-teman media juga sampaikan untuk mencegah penipuan ini. Pertama tentu juga verifikasi informasi jika menerima permintaan yang tidak biasa,” pinta Friderica.
Masyarakat juga diingatkan untuk tidak sembarangan memberikan informasi pribadi atau keuangan kepada pihak yang identitasnya tidak dapat diverifikasi secara pasti. “Jangan pernah memberikan informasi pribadi atau keuangan pada seseorang yang tidak dapat diverifikasi dengan pasti identitasnya,” tegas Friderica. Bijak dalam menggunakan media sosial juga menjadi kunci penting, serta tidak membagikan informasi rahasia yang dapat dimanfaatkan pelaku. “Karena dengan teknologi ini bisa kemudian meniru suara, kemudian diolah dengan rupa, sehingga memudahkan mereka melakukan skam terhadap rakyat,” tutupnya, menekankan pentingnya kewaspadaan kolektif.
Pilihan editor: Persaingan Baru Pembangkit Batu Bara dan Energi Terbarukan