DIREKTUR Pelaksana Paramadina Public Policy Institute, Ahmad Khoirul Umam, menyoroti lonjakan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di sejumlah daerah sebagai cerminan “jalan pintas” fiskal. Kebijakan drastis untuk mendongkrak PBB-P2 hingga ratusan persen ini dipilih, mengabaikan potensi besar untuk mengoptimalkan beragam sumber daya daerah demi menggenjot kesejahteraan berbasis ekonomi lokal. Umam menegaskan, kebijakan semacam ini hanya mencerminkan pola pikir yang dangkal dan pragmatis.
“Kebijakan tersebut justru menunjukkan pola pikir dangkal dan pragmatis,” ucapnya dalam keterangan resmi pada Kamis, 14 Agustus 2025.
Menurut Khoirul, fenomena ini bersumber dari tiga faktor utama yang saling berkaitan. Pertama, dampak dari langkah efisiensi kebijakan negara, khususnya pemotongan dana transfer ke daerah hingga 50 persen. Pemangkasan anggaran ini, menurutnya, memaksa pemerintah daerah mencari sumber penerimaan baru yang sayangnya seringkali berakhir pada kebijakan yang dangkal dan minim inovasi.
Kedua, Khoirul merujuk pada pola politik transaksional dan biaya tinggi dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang kian tak terbendung. Kondisi ini secara langsung mendorong kepala daerah terpilih untuk mencari sumber pembiayaan cepat pasca menjabat.
Terakhir, Khoirul menyoroti kecenderungan para kepala daerah yang belum mampu merancang model pembangunan berkelanjutan di tingkat lokal. Akibatnya, mereka lebih memilih instrumen fiskal instan yang pada akhirnya justru kian membebani masyarakat.
Fenomena ini terbukti di lapangan, sebagaimana terjadi di Kabupaten Pati. Kebijakan pemerintah daerah untuk mendongkrak PBB hingga 250 persen memicu gelombang demonstrasi, bahkan sebagian penduduk lokal menuntut Bupati Pati, Sudewo, untuk mundur dari jabatannya.
“Belajar dari apa yang terjadi di Pati, Bone, dan daerah-daerah lainnya, kebijakan penaikan PBB secara ekstrem, tanpa mitigasi dan partisipasi publik yang memadai, sangat rawan menciptakan instabilitas sosial-politik lokal,” ujar Khoirul. Ia juga mengingatkan bahwa skema peningkatan pajak lokal secara ekstrem berpotensi besar membuka celah korupsi baru melalui manipulasi laporan pajak daerah.
Menanggapi tudingan bahwa kenaikan PBB-P2 dipicu oleh kurangnya transfer dana pusat, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi memberikan bantahan. Ditemui di Istana Kepresidenan Jakarta pada 13 Agustus lalu, ia menegaskan bahwa keputusan kenaikan PBB sepenuhnya merupakan kebijakan independen setiap pemerintah daerah. “Menurut pendapat kami, bukan karena itu (anggaran daerah kurang),” tegasnya.
Eka Yudha Saputra berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Pilihan Editor: Siasat Kepala Daerah Mengakali Pemangkasan Anggaran