Artikel.or.id JAKARTA. Di tengah dinamika pasar perbankan regional, saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) selalu menonjol dengan valuasinya yang premium. Uniknya, meskipun memiliki harga yang terbilang tinggi, saham bank swasta terbesar di Indonesia ini tetap menjadi daya tarik utama bagi para investor, khususnya di kalangan domestik.
Per 5 Agustus 2025, rasio Price to Book Value (PBV) BBCA tercatat di level 3,92 kali. Angka ini secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan sejumlah bank besar lainnya di kawasan Asia Tenggara, yang mayoritas memiliki PBV di bawah 2 kali. Valuasi premium ini menunjukkan ekspektasi tinggi pasar terhadap kinerja BBCA di masa depan.
Meskipun valuasinya di atas rata-rata, investor domestik justru gencar melakukan pembelian. Sejak awal tahun, mereka mencatatkan aksi beli bersih (net buy) senilai fantastis Rp 18,4 triliun. Namun, dominasi kepemilikan saham BBCA masih berada di tangan investor asing, yang menguasai sekitar 72,22% dari total kepemilikan.
Sebagai gambaran perbandingan, beberapa bank raksasa di Asia Tenggara menunjukkan PBV yang jauh lebih rendah. Misalnya, DBS Bank dari Singapura, yang merupakan salah satu bank terbesar di kawasan, memiliki PBV sebesar 1,99 kali. Sementara itu, bank asal Singapura lainnya seperti OCBC, serta Maybank dari Malaysia, menunjukkan valuasi yang lebih “terjangkau” dengan rasio PBV sebesar 1,26 kali. Perbedaan ini semakin menyoroti posisi valuasi premium BBCA di kancah regional.
Investment Analyst Infovesta Utama, Ekky Topan, menjelaskan bahwa BBCA saat ini menjadi pilihan favorit di antara bank-bank Indonesia. Ia menyoroti kemampuan BBCA untuk mencatatkan pertumbuhan yang solid secara konsisten, bahkan di tengah tekanan yang melanda sektor perbankan secara keseluruhan. “Dengan Return on Equity (ROE) di atas 20% dan komposisi Current Account Savings Account (CASA) yang tinggi, BBCA masih menjadi pilihan utama investor,” tegas Ekky.
Ekky menambahkan bahwa meskipun valuasi BBCA berada di atas rata-rata sektor, investor tetap mempertahankan posisinya karena ekspektasi kinerja positif yang berkelanjutan di masa depan. Menurutnya, konsep mahal atau murah itu bersifat relatif, dan dalam kasus BBCA, valuasi tinggi dianggap wajar karena didukung oleh kualitas kinerja yang sangat kuat dan konsisten. Ia juga menilai bahwa secara fundamental, saham-saham di Indonesia secara umum memiliki performa yang sangat baik dan kompetitif di level regional. Kendati demikian, Ekky mengakui bahwa skala aset dan eksposur internasional bank-bank Indonesia memang belum sebesar bank-bank global.
Meskipun demikian, untuk saat ini, Ekky merekomendasikan investor untuk “wait and see” terhadap BBCA, mengingat belum ada konfirmasi atau tanda pembalikan arah yang jelas. “Agak berat untuk saham-saham ‘big caps’ perbankan jika kondisi asing belum kembali. Namun, jika ada pembalikan arah, untuk jangka menengah saya rasa saham BBCA bisa kembali menguji level Rp 9.800-Rp 10.000,” pungkasnya.
Senada dengan pandangan tersebut, Investment Analyst Edvisor Profina Visindo, Indy Naila, menyoroti adanya kepercayaan kuat dari investor jangka panjang bahwa bank seperti BCA akan terus membukukan kinerja keuangan yang lebih baik, khususnya dalam hal pemulihan Net Interest Margin (NIM) atau Non-Performing Loan (NPL). Indy mengambil contoh DBS di ASEAN, yang meskipun memiliki valuasi tinggi, selalu diharapkan mampu berinovasi demi menjaga margin keuntungannya.
Indy Naila juga melihat potensi besar bagi bank-bank di Indonesia untuk bersaing dengan bank global. Namun, ia menekankan pentingnya memantau kondisi makroekonomi, terutama proyeksi suku bunga acuan, yang dapat mempengaruhi fundamental saham seperti NIM, NPL, atau Loan to Deposit Ratio (LDR). Semua faktor ini, menurutnya, harus didukung oleh tingkat kepercayaan investor yang tinggi.