PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) terus menjadi magnet utama bagi aliran dana investor asing di pasar modal Indonesia. Kondisi ini terbukti dengan nilai beli bersih (net foreign buy) yang melesat hingga menembus Rp2,2 triliun pada perdagangan Selasa (12/8/2025).
Secara spesifik, saham BBCA sendiri mencatat nilai beli bersih sebesar Rp576 miliar. Gelombang beli ini mendorong harga sahamnya melonjak 3,51% dan ditutup di level Rp8.850 pada perdagangan kemarin. Namun, dalam sesi I perdagangan hari ini, Rabu (13/8/2025), pergerakan saham BBCA sedikit terkoreksi 0,28%, bergerak ke posisi Rp8.825 per saham.
Menanggapi pergerakan ini, Analis MNC Sekuritas, Herditya Wicaksana, menjelaskan bahwa dari sisi teknikal, posisi BBCA masih berada dalam fase uptrend yang kuat. Ia menambahkan bahwa saham ini masih mampu bertahan di atas garis MA60, mengindikasikan kekuatan tren jangka menengahnya.
Herditya mengakui bahwa tekanan jual mulai muncul pada perdagangan hari ini. Namun, menurutnya, hal tersebut cukup wajar mengingat penguatan signifikan yang telah dicatat BBCA selama dua hari belakangan. Kondisi ini dianggap sebagai koreksi sehat setelah kenaikan yang substansial.
Lebih lanjut, Herditya menjelaskan indikator teknikal lainnya. Indikator MACD masih menunjukkan penguatan di area positif, menandakan momentum beli yang berkelanjutan. Meskipun demikian, indikator Stochastic menunjukkan potensi pembentukan deadcross menuju area netral, yang perlu dicermati oleh investor.
Dengan mempertimbangkan analisis teknikal tersebut, Herditya memproyeksikan saham BBCA akan bergerak dalam rentang level support Rp8.725 dan level resistance Rp9.025. Sejalan dengan proyeksi tersebut, MNC Sekuritas merekomendasikan strategi buy on weakness untuk BBCA, dengan target harga yang menarik di kisaran Rp9.150-Rp9.400.
Di sisi lain, Stockbit Sekuritas menyoroti proyeksi kinerja fundamental BBCA yang dinilai akan terus membaik ke depannya. Mereka memperkirakan revenue perusahaan akan mencapai Rp155,40 triliun pada akhir 2025, sebelum kemudian disesuaikan menjadi Rp123,94 triliun di akhir 2026.
Proyeksi Stockbit juga menunjukkan peningkatan pada pendapatan operasional Bank BCA, yang diprediksi mencapai Rp72,49 triliun di akhir 2025 dan berlanjut meningkat menjadi Rp77,86 triliun pada 2026. Dari sisi laba bersih, BBCA ditaksir akan membukukan Rp58,12 triliun hingga akhir tahun ini, dan diproyeksikan melonjak menjadi Rp62,61 triliun pada akhir 2026.
Data aktual pada semester I/2025 menunjukkan bahwa Bank BCA dan entitas anaknya berhasil membukukan laba bersih konsolidasi sebesar Rp29 triliun. Angka ini mencerminkan pertumbuhan solid 8% secara tahunan (year-on-year/YoY) dibandingkan dengan Rp26,9 triliun pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Pertumbuhan juga terlihat jelas dalam penyaluran kredit, yang naik 12,9% YoY menjadi Rp959 triliun per Juni 2025. Rinciannya, kredit korporasi tumbuh 16,1% YoY mencapai Rp451,8 triliun, kredit komersial naik 12,6% menjadi Rp143,6 triliun, dan kredit UMKM menunjukkan peningkatan 11,1% menjadi Rp127 triliun. Kredit konsumer turut menguat 7,6% YoY, didorong oleh ekspansi Kredit Pemilikan Rumah (KPR) sebesar 8,4% dan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) 5,2%.
Kualitas aset BBCA juga tetap terjaga dengan baik, tercermin dari rasio loan at risk (LAR) yang stabil di 5,7%, membaik dari 6,4% pada tahun lalu. Sementara itu, rasio kredit bermasalah (NPL) berada di level yang terkendali, yakni 2,2%, dengan tingkat pencadangan NPL dan LAR masing-masing sebesar 167,2% dan 68,7%, menunjukkan manajemen risiko yang prudent.
Dari sisi penghimpunan dana, Bank BCA mencatat pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) sebesar 5,7% YoY, mencapai Rp1.190 triliun. Dana murah (CASA) memberikan kontribusi yang signifikan, mencapai 82,5% dari total simpanan dengan nilai Rp982 triliun, tumbuh 7,3% YoY, menegaskan efisiensi struktur pendanaan bank.
Pendapatan bunga bersih (NII) BBCA naik 7% menjadi Rp42,5 triliun, menunjukkan kinerja inti yang kuat. Di samping itu, pendapatan nonbunga juga tumbuh impresif 10,6% menjadi Rp13,7 triliun. Secara keseluruhan, total pendapatan operasional mencapai Rp56,2 triliun, naik 7,8% YoY, dengan rasio cost to income (CIR) yang efisien, menurun menjadi 29,1%.
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.