PADA 25 Juli 2025, langkah signifikan diambil oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani dengan penandatanganan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 50 Tahun 2025. Regulasi penting ini mengatur Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) atas transaksi perdagangan aset kripto, dan telah resmi berlaku sejak Jumat, 1 Agustus 2025. Tujuan utama dari aturan ini adalah untuk memberikan kepastian hukum, sekaligus menyederhanakan dan mempermudah administrasi perpajakan bagi para pelaku di ekosistem aset kripto yang terus berkembang.
Pemerintah Indonesia menyadari bahwa aset kripto, meskipun telah menunjukkan pertumbuhan pesat, masih merupakan instrumen keuangan yang relatif baru dan kompleks. Oleh karena itu, PMK 50/2025 diterbitkan untuk menciptakan struktur hukum yang jelas bagi pelaku pasar kripto. Aturan ini juga memastikan bahwa setiap transaksi tercatat dan dikelola dengan baik, sehingga proses pemungutan, penyetoran, dan pelaporan pajak menjadi lebih efisien tanpa memberatkan pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi kripto.
Sebagai terobosan penting, pemerintah memutuskan untuk tidak mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas transaksi penjualan aset mata uang kripto. Keputusan ini secara eksplisit tercantum dalam Pasal 2 Ayat 1 PMK 50/2025, yang menyatakan, “Atas penyerahan Aset Kripto yang dipersamakan dengan surat berharga tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai.” Dengan demikian, jual beli aset kripto kini diperlakukan setara dengan surat berharga, yang berarti tidak lagi dikategorikan sebagai barang kena pajak (BKP) seperti sebelumnya. Pengecualian ini mencerminkan perubahan pandangan pemerintah yang kini melihat aset kripto lebih tepat sebagai instrumen keuangan, serupa dengan saham atau obligasi, ketimbang komoditas fisik.
Meskipun penjualan aset kripto dibebaskan dari PPN, pemerintah tetap mengenakan PPN pada beberapa layanan terkait aset kripto. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 2 Ayat 2, yang menyebutkan bahwa jasa penyedia sarana elektronik yang memfasilitasi transaksi aset kripto—baik oleh penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) maupun penambang aset kripto—tetap dikenakan PPN. Contoh layanan yang dikenakan PPN antara lain adalah jual beli aset kripto menggunakan mata uang fiat, tukar-menukar aset kripto (swap), serta penyediaan atau pengelolaan dompet elektronik untuk penyimpanan aset kripto. Untuk layanan-layanan ini, tarif PPN ditetapkan sebesar 11%, disesuaikan dengan ketentuan dalam PMK 131/2024, meskipun perhitungan tarif PPN yang berlaku pada 2025 adalah 12%.
Selain PPN, Pajak Penghasilan (PPh) juga akan dikenakan pada pihak-pihak yang memperoleh penghasilan dari hasil penjualan aset kripto. PPh ini akan dipungut dari penjual aset kripto, penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik, dan penambang kripto. Penghasilan yang dikenakan PPh mencakup transaksi dengan pembayaran menggunakan mata uang fiat, tukar-menukar aset kripto, dan transaksi aset kripto yang dilakukan secara elektronik melalui PMSE. Menariknya, tarif PPh Pasal 22 atas penghasilan terkait aset kripto mengalami kenaikan menjadi 0,21% dari sebelumnya hanya 0,1%. PPh ini bersifat final, yang berarti tidak ada pengurangan atau pengembalian pajak atas penghasilan yang diperoleh.
Perubahan penting dalam aturan pajak kripto ini dijelaskan lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Bimo Wijayanto, dalam konferensi pers pada 22 Juli 2025. Menurut Bimo, penyesuaian ini berawal dari pemahaman bahwa sebelumnya pajak atas aset kripto diperlakukan sebagai komoditas. “Dulu kami mengatur kripto itu sebagai bagian dari komoditas, kemudian ketika dia beralih kepada instrumen keuangan, maka aturannya harus disesuaikan,” ujarnya. Beliau menegaskan bahwa regulasi pajak harus beradaptasi dengan status kripto yang kini diakui sebagai instrumen keuangan.
Dengan demikian, PMK 50/2025 tidak hanya memberikan kejelasan hukum tetapi juga mencerminkan adaptasi pemerintah terhadap dinamika pasar aset digital, memastikan kerangka perpajakan yang lebih relevan dan efisien. Artikel ini ditulis dengan kontribusi dari Muhammad Nafis Wirasaputra.