Artikel.or.id JAKARTA. Proses Initial Public Offering (IPO) di pasar modal domestik saat ini masih menghadapi rentetan tantangan signifikan, meskipun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menargetkan peningkatan jumlah emiten hingga 1.100 dan kapitalisasi pasar mencapai Rp 25.000 triliun pada akhir masa jabatan mereka.
Menyikapi target ambisius tersebut, Pengamat Pasar Modal dari Universitas Indonesia (UI), Budi Frensidy, menegaskan bahwa kualitas emiten yang melantai di bursa harus menjadi prioritas utama. Menurut Budi, kuantitas emiten memang dapat memperkaya pasar modal, namun kehati-hatian diperlukan agar pasar tidak dibanjiri oleh perusahaan kecil dengan kinerja yang kurang stabil. Ia juga menyoroti fenomena saat ini di mana indeks pasar saham Indonesia mayoritas digerakkan oleh perusahaan-perusahaan konglomerat besar, sementara saham-saham di LQ45 justru menunjukkan performa yang tertinggal.
Kekhawatiran lain muncul terkait dengan IPO jumbo atau penawaran perdana saham dengan volume sangat besar, seperti kasus PT Gojek Tokopedia GoTo Tbk (GOTO). Budi Frensidy menekankan bahwa IPO dengan jumlah saham beredar triliunan sebaiknya tidak dipaksakan, karena dampaknya akan sangat dirasakan oleh investor ritel. Ia memperingatkan, “Jika valuasi ditetapkan secara sembarangan dan free float terlalu besar, hal tersebut akan menjadi masalah serius.”
Meskipun populasi investor ritel di Indonesia cukup besar, dominasi pasar modal tetap berada di tangan investor besar, khususnya institusi, yang perannya krusial dalam menentukan arah pasar. Oleh karena itu, Budi menggarisbawahi pentingnya mendukung perusahaan-perusahaan menengah yang mampu menggandeng konglomerat besar, terutama yang memiliki komitmen kuat dalam menjaga harga saham demi melindungi investor ritel dari potensi kerugian.
Kehadiran konglomerat besar, menurut Budi, kerap menjadi faktor penentu stabilitas harga saham bagi perusahaan yang baru melantai di bursa. Contoh nyata adalah PT Merry Riana Edukasi Tbk (MERI), yang sahamnya melonjak signifikan setelah menarik perhatian konglomerat ternama Hermanto Tanoko. Selain itu, komitmen Pemegang Saham Pengendali (PSP) untuk menjaga stabilitas harga saham menjadi esensial demi keamanan investor. “Dengan adanya PSP yang memiliki komitmen kuat, investor ritel dapat merasa lebih aman berinvestasi,” tegas Budi.
Meski demikian, Budi juga mengingatkan bahwa rasio free float yang terlalu kecil dapat berdampak pada likuiditas saham. Kondisi ini, terutama jika saham banyak dikuasai investor asing, membuat harga saham sangat rentan terhadap perpindahan modal ke pasar lain yang dianggap lebih menarik.
Kontribusi ke Pertumbuhan Ekonomi
Bergeser ke perspektif ekonomi, Peneliti Indonesia Democracy Bridge Research Institute (Ind-Bri), Fauzan Luthsa, menyatakan bahwa perusahaan menengah yang melakukan IPO berpotensi memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Dana hasil IPO, menurut Fauzan, akan dimanfaatkan perusahaan menengah untuk perputaran modal kerja, penambahan kapasitas produksi, dan penambahan tenaga kerja. “Ini akan berdampak langsung pada peningkatan daya beli masyarakat,” tambahnya.
Namun, akses perusahaan menengah ke pasar modal masih terganjal. Pengamat Pasar Modal, Dipo Satria Ramli, menegaskan bahwa OJK dan Bursa Efek Indonesia (BEI) harus segera mengatasi masalah biaya tinggi dan regulasi yang rumit. Dipo menyebutkan bahwa biaya proses IPO yang berkisar antara Rp 3 miliar hingga Rp 5 miliar, ditambah persyaratan administratif yang rumit, menjadi penghalang utama bagi banyak perusahaan menengah untuk melantai di bursa. “Perusahaan menengah sering terhambat oleh biaya yang sangat besar dan persyaratan ketat untuk memenuhi standar di papan utama pasar modal,” jelasnya.
Ia menambahkan, peraturan yang berlaku di Indonesia seringkali mengacu pada standar papan utama yang memang ditujukan bagi perusahaan besar dengan kapitalisasi pasar tinggi. “Padahal, perusahaan menengah memiliki karakteristik berbeda dan membutuhkan regulasi yang lebih fleksibel agar dapat masuk ke pasar modal,” pungkas Dipo.